http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=292102&kat_id=49
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin M.Sc
hanya orang bodoh yang berkata matahari sudah mati,sedang ia berdiri di tengah lapangan pada siang hari sambil menutup kedua matanya dengan tangan.
Sungguh sangat menyedihkan apabila ada orang yang menyatakan bahwa pada zaman sekarang ini, jangankan mencari rezeki yang halal, mencari rezeki yang haram pun sangat susah. Tentu pernyataan ini mencerminkan kelemahan, keyakinan, keimanan serta kepercayaanya kepada Allah SWT sebagai sumber rezeki, sekaligus tersirat menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkannya.
Perilaku itulah yang mungkin menyebabkan terjadinya berbagai macam korupsi di negara kita. Bayangkan, uang negara yang dikorupsi oleh para oknum pejabat negara di berbagai tingkat dan di berbagai departemen, yang baru bisa diselamatkan oleh Timtastipikor berkisar antara 3-4 triliun rupiah. Jumlah yang relatif kecil bila dibandingkan dengan jumlah yang sesungguhnya.
Kehancuran ekonomi, akhlak dan perilaku, bahkan kehancuran bangsa secara menyeluruh dan total, sesungguhnya berawal dari sikap korup yang dilandasi oleh filosofi menghalalkan segala macam cara. Orang tidak peduli lagi, apakah rezekinya itu didapatkan dari usaha-usaha yang halal ataukah haram.
Dalam sebuah hadits riwayat Ibn ‘Asakir dari Ibn Umar, Rasulullah SAW mengingatkan, bahwa di akhir zaman ada kecenderungan, orang tidak lagi memperhatikan rezekinya, apakah didapatkan dengan cara yang halal ataukah haram.
Untuk mengatasi perilaku korup ini, sangat diperlukan perubahan paradigma berpikir yang mendasar, bahwa yang hal itu – walaupun jumlahnya sedikit – akan menyebabkan ketenangan, kebahagiaan, keselamatan, perilaku akan bertambah baik, dan doa serta ibadah akan diterima oleh Allah SWT. Sebaliknya, rezeki yang haram; yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak benar – walaupun jumlahnya banyak – akan menyulitkan, membuat gelisah, bahkan juga akan menghancurkan perilakunya maupun keturunannya. Lebih dari itu, doa serta ibadahnya tidak akan diterima oleh Allah SWT.
Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT adalah Dzat yang baik (suci), maka Dia tidak akan menerima (sesuatu), kecuali yang baik (suci). Dan Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang mukmin sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada para rasul. Maka Allah SWT berfirman:
“Wahai para rasul, makanlah kalian dari sesuatu yang baik-baik (halal dan baik) dan beramalah dengan amal yang saleh.“
Kemudian Allah SWT berfirman kembali:
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah oleh kalian sesuatu yang baik-baik (halal dan baik) dari apa-apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian. Kemudian dia (rasulullah) menggambarkan tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan yang sangat jauh, rambutnya kusut penuh dengan debu. Lalu dia menenggadahkan kedua tangannya ke langit (berdoa) dan berkata: “Wahai Tuhanku (kabulkanlah doaku), Wahai Tuhanku (kabulkanlah doaku).
Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan oleh sesuatu yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?.” Dalam hadits shahih yang lain dari Abu Hurairah Rasulullah SAW juga bersabda: “Jika seseorang berangkat untuk melakukan ibadah haji dengan harta yang baik, maka tatkala dia mengucapkan talbiyyah, langsung ada suara (Malaikat) yang menjawab (mendoakan) dari langit:
“Selamat datang dan kebahagiaan buatmu (wahai hamba Allah). Harta yang engkau pergunakan (untuk ibadah haji) adalah harta halal, dan kendaraanmu halal, maka hajimu termasuk haji mabrur dan bukan termasuk haji yang berdosa/ditolak (bukan haji mardud). Tetapi jika seseorang berangkat untuk melakukan ibadah haji dengan harta yang haram, lalu ia mengucapkan talbiyyah, langsung ada suara (Malaikat) yang menjawab (mendoakan) dari langit: “Tidak ada pangilan buatmu dan tidak ada kebahagiaan buatmu.” Harta yang engkau pergunakan (untuk ibadah haji) adalah harta haram, dan kendaraanmu haram, maka hajimu termasuk haji yang mardud (termasuk haji yang berdosa/ditolak).” (HR. Thabrani).
Sistem ekonomi syariah
Sistem ekonomi syariah pada hakikatnya bukanlah sistem yang hanya berkisar pada masalah akad semata-mata, seperti murabahah, mudharabah, musyarakah, maupun yang lainnya, akan tetapi sistem yang menegaskan perlunya harta dan rezeki itu didapatkan dengan cara-cara yang benar, yang sesuai dengan aturan dan ketentuan-Nya. Sistem ini tidak mengenal penghalalan segala macam cara, dan tidak pula berorientasi pada semata-mata mendapatkan keuntungan.
Memang keuntungan adalah sesuatu yang harus dicari dalam setiap kegiatan usaha, akan tetapi dengan tetap memperhatikan proses untuk mendapatkannya. Antara hasil dengan proses adalah dua hal tidak bisa dipisahkan. Proses yang benar, yang jauh dari suap-menyuap, penipuan, dan mempermainkan kualitas, insya Allah akan menghasilkan keuntungan yang bersih dan halal. Sementara sistem ekonomi konvensional hanyalah berorientasi untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin, dengan modal yang seminimal mungkin. Inilah cara berpikir kapitalis, yang sudah menggurita demikian dahsyat pada masyarakat kita, sehingga kegiatan apa pun selalu harus kelihatan untungnya secara fisik material.
Nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebersamaan dan transparansi akan hilang secara sistematis dalam kehidupan masyarakat. Untuk mengejar sebuah jabatan (yang belum tentu menguntungkan) orang bersedia mengeluarkan dana puluhan bahkan ratusan miliar. Misalnya untuk menjadi kepala daerah, atau menduduki posisi-posisi tertentu. Jabatan dianggapnya sebagai suatu kesempatan untuk meraup keuntungan, bukan dianggap sebagai suatu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan manusia, dan terutama di hadapan Allah SWT.
Betapa pun beratnya keadaan ini, tetap harus diperbaiki kalau kita ingin mensejahterakan kehidupan bangsa. Salah satu cara penting yang harus dilakukan, adalah dengan mengubah paradigma berpikir dari materialistik, kapitalistik, dan keuntungan sesaat, menuju kesungguhan bekerja dan berikhtiar, dengan penuh kejujuran dan keamanahan. Dan tentu saja ini semua memerlukan keteladanan dari para pejabat, tokoh masyarakat, ulama, pendidik, politisi, dan bahkan juga dari para orang tua pada setiap keluarga. Semoga. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar