K.H. Abdullah Gymnastiar
Kecenderungan manusia berperilaku boros terhadap harta memang
sudah ada di dalam dirinya. Ditambah lagi perilaku boros adalah salah satu tipu
daya setan terkutuk yang membuat harta yang kita miliki tidak efektif mengangkat
derajat kita. Harta yang dimiliki justru efektif menjerumuskan, membelenggu,
dan menjebak kita dalam kubangan tipu daya harta karena kita salah dalam
menyikapinya.
Hal ini dapat kita perhatikan dalam hidup keseharian kita. Orang
yang punya harta, kecenderungan untuk menjadi pecinta harta cenderung lebih
besar. Makin bagus, makin mahal, makin senang, maka makin cintalah ia kepada
harta yang dimilikinya. Lebih dari itu, maka ingin pulalah ia untuk
memamerkannya. Terkadang apa saja ingin dipamer-pamerkan. Ada yang pamer kendaraan, pamer rumah, pamer
mebel, pamer pakaian, dan lain-lain. Sifat ini muncul karena salah satunya kita
ini ingin tampil lebih wah, lebih bermerek, atau lebih keren dari orang lain.
Padahal, makin bermerek barang yang dimiliki justru akan menyiksa diri.
Suatu pengalaman ketika seseorang memberi sebuah ballpoint. Dari
tampangnya ballpoint ini saya pikir sangat bagus, mengkilat, dan ketika dipakai
untuk menulis pun enak. Tapi tiba-tiba ballpoint ini menjadi barang yang
menyengsarakan ketika ada yang memberi tahu bahwa ballpoint yang mereknya
"MP" itu adalah sebuah merek terkenal untuk ukuran sebuah benda
bernama ballpoint. Mulanya tidak mengerti sama sekali. Tadinya saya kira
harganya paling cuma ribuan rupiah saja. Nah, gara-gara tahu itu ballpoint
mahal, sikap pun jadi berubah. Tiba-tiba jadi takut hilang, ketika dibawa takut
jatuh, ketika dipinjam takut cepat habis tintanya karena tintanya pun mahal,
mau disimpan takut jadi mubazir, mau dikasihkan ke orang lain sayang, ditambah lagi
saat dipakai pun malu, mungkin nanti ada yang komentar "Wah, Aa
ballpoint-nya ballpoint mahal!". Begitulah, nasib punya barang bermerek,
tersiksa!
Sebaliknya, kalau kita terbiasa dengan barang yang biasa-biasa,
dapat dipastikan hidup pun akan lebih ringan. Karenanya, hati-hatilah
saudaraku. Apalagi dalam kondisi ekonomi bangsa kita yang sedang terpuruk
seperti saat ini. Kita harus benar-benar mengendalikan penuh
keinginan-keinginan kita jikalau ingin membeli suatu barang. Ingat, yang paling
penting adalah bertanya pada diri apa yang paling bermamfaat dari barang yang
kita beli tersebut. Buat pula skala prioritas, misalnya, haruskah membeli
sepatu seharga 1 juta rupiah padahal keperluan kita hanya sebentuk sepatu
olahraga. Apalagi dihadapan tersedia aneka pilihan harga, mulai dari yang 700
ribu, 400 ribu, 200 ribu, sampai yang 50 ribu rupiah. Mereknya pun beragam,
tinggal dipilih mana kira-kira yang paling sesuai. Nah, kalau kita ada dalam
posisi seperti ini, maka carilah sepatu yang paling tidak membuat kita sombong
ketika memakainya, yang paling tidak menyikasa diri dalam merawatnya, dan yang
paling bisa bermamfaat sesuai tujuan utama dari pembelian sepatu tersebut.
Hati-hatilah, sebab yang biasa kita beli adalah mereknya, bukan awetnya, karena
kalau terlalu awet pun akan bosan pula memakainya. Jangan pula tergesa-gesa,
dan ketahuilah bahwa pemboros-pemboros itu adalah saudaranya setan.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman, "Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang
dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghamburkan hartamu secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudaranya setan dan setan itu sangat ingkar
kepada Tuhan-Nya" (QS. Al Israa [17] : 26-27). Dalam ayat lain Allah
SWT berfirman, "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta mereka
tidak berlebih-lebihan dan tidak pula mereka kikir. Dan adalah pembelanjaan itu
ditengah-tengah yang demikian itu". (QS. Al Furqan [25] : 67)
Jelaslah kiranya bahwa sikap boros lebih dekat kepada perilaku
setan, naudzubillaah. Karenanya, budaya bersahajalah salah satu budaya yang
harus kita tanamkan kuat-kuat dalam diri. Memilih hidup dengan budaya bersahaja
bukan berarti tidak boleh membeli barang-barang yang bagus, mahal, dan
bermerek. Silahkan saja! Tapi ternyata kalau kita berlaku boros, sama sekali
tidak akan menjadi amal kebaikan bagi kita. Saya kira hikmah dari krisis
ekonomi yang menimpa bangsa kita, salah satunya kita harus benar-benar
mengendalikan keinginan kita. Tidak setiap keinginan harus dipenuhi. Karena
jikalau kita ingin membeli sesuatu karena ingin dan senang, ketahuilah bahwa
keinginan itu cepat berubah. Kalau kita membeli sesuatu karena suka, maka
ketika melihat yang lebih bagus, akan hilanglah selera kita pada barang yang
awalnya lebih bagus tadi. Belilah sesuatu hanya karena perlu dan mampu saja.
Sekali lagi, hanya karena perlu! Perlukah saya beli barang ini? Matikah saya
kalau tidak ada barang ini? Kalau tidak ada barang ini saya hancur tidak?
Itulah yang harus selalu kita tanyakan ketika akan membeli suatu barang. Kalau
saja kita masih bisa bertahan dengan barang lain yang lebih bersahaja, maka
lebih bijak jika kita tidak melakukan pembelian.
Misalnya, ketika tersirat ingin membeli motor baru, tanyakan;
perlukah kita membeli motor baru? Sudah wajibkah kita membelinya? Nah, ketika
alasan pertanyaan tadi sudah logis dan dapat diterima akal sehat, maka kalau
pun jadi membeli pilihlah yang skalanya paling irit, paling hemat, dan paling
mudah perawatannya. Jangan berpikir dulu tentang keren atau mereknya. Cobalah
renungkan; mending keren tapi menderita atau irit tapi lancar? Tahanlah
keinginan untuk berlaku boros dengan sekuat tenaga, yakinlah makin kita bisa
mengendalikan keinginan kita, Insya Allah kita akan makin terpelihara dari
sikap boros. Sebaliknya, jika tidak dapat kita kendalikan, maka pastilah kita
akan disiksa oleh barang-barang kita sendiri. Kita akan disiksa oleh kendaraan
kita dan disiksa oleh harta kita yang kita miliki. Rugi, sangat rugi orang yang
memperturutkan hidupnya karena sesuatu yang dianggap keren atau bermerek.
Apalagi, keren menurut kita belum tentu keren menurut orang lain, bahkan
sebaliknya bisa jadi malah dicurigai. Karena ada pula orang yang ketika memakai
sesuatu yang bermerek, justru disangka barang temuan.
Seperti kisah santri di sebuah pesantren. Saat ada santri yang
memakai sepatu yang sangat bagus dengan merek terkenal, justru disangka sepatu
jamaah yang ketika berkunjung ke pesantren tersebut tertinggal di mesjid. Lain
waktu, ada juga yang memakai arloji sangat bagus dengan merek terkenal buatan
dari negeri Swiss sana ,
tapi orang lain justru malah berprasangka kalau arloji itu barang temuan dari
tempat wudhu. Begitulah, bagi orang yang maqam-nya murah meriah, ketika memakai
barang mahal justru malah dicurigai.
Karenanya, biasakanlah untuk senantiasa bersahaja dalam setiap
yang kita lakukan. Dan mudah-mudahan dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini
Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menjadi orang yang terpelihara
dari perbuatan sia-sia dan pemborosan.***